Sore Minggu (19/07/20) itu sedang asik menyortir lele kepunyaan tambak sendiri dikebun, tiba-tba handphone berdering dan yang muncul hanya nomor tanpa nama. Agak ragu ingin menerimanya, namun karena sudah terbiasa banyak nomor baru yang masuk maka sambil menghilangkan keraguan langsung di angkat. Terdengar salam yang hangat dan ... ternyata yang menelpon adalah Pak Nasidi sahabat lama Ketua Komunitas Tebat Rasau Desa Lintang Kabupaten Belitung Timur. Yang membuat lebih terkejut rupanya beliau bersama rekan-rekan Komunitas Tebat Rasau yang lain sudah berada di lokasi wisata Aik Rusa' Berehun Desa Wisata Kreatif Terong, ikut dengan beliau adalah salah satu sepuh pembina Komunitas Tebat Rasau Pak Marwan.
Singkat cerita kemudin langsung dibatalkan untuk nyortir lele, lalu berkemas dan langsung meluncur ke lokasi demi sebuah penghormatan dan penghargaan kepada sahabat yang sudah jauh-jauh datang untuk berkunjung dan selalu (pasti) akan ada kelakar (obrolan) yang hangat sebagai sebuah penyemangat sesama komunitas wisata yang berbasis masyarakat.
Dan ternyata benar, begitu bertemu banyak hal yang di obrolkan. Namun inti utama dari kunjungan mereka adalah ingin mengetahui lebih banyak tentang keanekaragaman hayati di lokasi wisata Aik Rusa Berehun, salah satunya adalah jenis hewan air tawar yang di Belitung biasa disebut Ketuntong (sejenis kura-kura air tawar namun permukaan punggung tidak terlalu licin), ukurannya bervariasi dari mulai ukuran yang kecil sampai ukuran besar saat sudah dewasa. Dahulu (kisaran tahun '80-an) saat masih jaman-jamannya sekolah SMP memang sering ditemui hewan ini terutama di aliran sungai kecil (aik arongan). Kadang sering juga makan umpan pancing (bebanjor). Biasanya juga saat makan pancing langsung kembali dilepas ke habitatnya.
Di lokasi Tebat Rasau kata Pak Nasidi beliau belum pernah menemukan Ketuntong ini, makanya membuatnya penasaran dan rela datang jauh-jauh untuk mengetahui bentuk dan ukurannya untuk menjadi pengetahuan baru dan perbendaharaan berbagai jenis kura-kura yang hidup di habitat air tawar. Sebab di lokasi Tebat Rasau yang ada cuma kura-kura kecil pada umumnya (kalau di Belitung biasa di sebut Biukuk yang permukaannya pungungnya sedikit tinggi dan licin, ada juga jenis Binat yang yang punggungnya agak pipih dan permukaannya licin juga).
Akhirnya untuk mengobati rasa penasaran tersebut rekan-rekan Pak Naisidi dari Tebat Rasau Desa Lintang termasuk ditemani oleh Pak Marwan melakukan patroli dadakan untuk misi mencari dan menemukan Ketuntong ini dengan menyelusuri sepanjang aliran Sungai Aik Rusa'. Bagiku sangat luar biasa semangat mereka ini demi ilmu dan pengetahuan yang akan di wariskan kepada generasi ke berikutnya.
Oh ya ada satu yang lupa diceritakan, sebelum timnya Pak Nasidi turun berbasah-basah ria ke air demi mencari Ketuntong, Kami menyantap dulu sajian Mie Rebus asli Belitung racikan ibu-ibu Komunitas Aik Rusa' Berehun. Begitu nikmat mereka melahapnya hingga cuma ada alas daun simpor yang tersisa. Pak Marwan sempat nyeletuk,"Kenak benar ini jok lida kan jok perut," (Pas benar rasa Mie Rebus ini di lidah dan diperut). Yang pasti mereka lapar sebab cuaca malam yang dingin dan menusuk.
Sambil menunggu hasil timnya turun ke lapangan, Kami melanjutkan obrolan yang sempat teputus, ada Pak Zubir (Ketua Komunitas Aik Rusa' Berehun) yang hadir menambah asiknya suasana malam itu. Dari isi obrolan dengan Pak Nasidi yang begitu semangat dan banyak pengetahuan tentang berbagai kearifan lokal Belitung Timur khususnya tentang Desa Lintang adalah mereka masih banyak memerlukan "sentuhan dan kehadiran" berbagai pihak untuk mensupport keberadaan komunitas Tebat Rasau mereka. Dan alhamdulillah selama ini dari sejak komunitas Tebat Rasau berdiri dukungan dan fasilitasi Dinas Pariwisata Kabupaten Belitung Timur sangat luar biasa. Khususnya untuk peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) Komunitas Tebat Rasau termasuk beberapa waktu lalu ada pembangungan tracking dan tempat selfie sebagai salah satu penambahan daya tarik yang ada di lokasi Tebat Rasau.
Cerita Pak Nasidi lagi, bahwa awal mereka mendirikan komunitas Tebat Rasau itu adalah salah satu upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan Desa Lintang, menjaga habitat beberapa hewan yang mulai akan terancam punah seperti ikan Cempedik, ikan Buntal Darat, ikan Baong dan lain sebagainya. Tak mudah kata Beliau untuk memulai langkah pertama pada akhir tahun 2016 yang lalu. Apalagi saat itu belum ada orang yang mau di ajak untuk melakukan langkah yang diluar kebiasaan orang kampung Lintang pada umumnya. Rata-rata masih merasa "nyaman" di zona tambang. Dari sisi kemampuan bicara dan melobbi masyarakat untuk membangun kesadaran kolektif saat itupun masih sangat jauh dari kita "bisa". Namun berkat bimbingan dan binaan Dinas Pariwisata Kabupaten Belitung Timur dan Dinas Pariwisata Propinsi Kepulauan Bangka Belitung (saat belum digabungkan dengan Badan Ekonomi Kreatif) dalam proses yang panjang pada akhirnya Beliau bisa menyesuaikan kemampuannya untuk mulai "jago" bercerita dan melakukan pembicaraan-pembicaraan mengajak rekan-rekan Desa Lintang bergabung di Komunitas Tebat Rasau.
Berkaitan dengan kepercayaan diri Beliau dan rekan-rekan Komunitas Tebat Rasau dalam berkomitmen menjaga keberlangsungan komunitas pun juga tak lepas dari pendekatan ke berbagai tokoh-tokoh budaya, tokoh masyarakat, tokoh sejarah Pulau Belitung yang masih eksis sampai saat ini. Sebut saja seperti Bapak Fithorozi sebagai salah satu Budayawan Belitung yang selalu rutin "ngayau" (berkunjung) ke Tebat Rasau. Atau Bapak Marwan sebagai salah satu tokoh Budayawan Belitung juga yang sangat berkomitmen kuat sejak awal selalu rutin berkunjung bahkan terkadang sampai "beranjuk" (nginap) di Pondok Tebat Rasau. Dalam setiap kunjungan Beliau-Beliau inilah (Bapak Fithorozi dan Bapak Marwan) Pak Nasidi dan kawan-kawan selalu mendapatkan siraman motivasi yang luar biasa.
Dalam kesempatan yang sama inipun Pak Marwan menyampaikan bahwa sebenarnya ketika berbicara pelestarian lingkungan bukanlah hal yang baru khususnya di Pulau Belitung, tetapi sudah berlaku sejak ratusan tahun yang lalu secara turun-temurun pada setiap generasi. Cuma yang membedakan antara pola dahulu dengan sekarang adalah kurangnya literasi dan budaya tulis, sehingga ketika satu generasi tua dahulu mulai menua bahkan mulai wafat satu persatu banyak menemui kesulitan untuk mengangkat tentang suatu kearifan lokal Belitung yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan yang berkelanjutan tersebut. Dan inilah sebenarnya yang akan menjadi tugas berat generasi saat ini untuk mulai berbenah menggali tentang berbagai macam kearifan lokal Belitung tersebut sebelum terlambat. Caranya ? Hayuk Kita dekati para tetua adat atau tokoh sejarah Pulau Belitung, Kita catat, Kita kumpulkan untuk menjadi sebuah buku panduan bagi generasi muda ke depan dalam menjaga berbagai keunikan dari kearifan lokal masyarakat Belitung.
Pak Marwan memberikan contoh kecil saja salah satu kearifan lokal Belitung berkaitan dengan ketersedaian pangan dan pola tanam yang benar untuk "be ume padi" (menanam padi ladang sistem tadah hujan). Sebelum menebas hutan sampai ke menanam bibit padi biasanya orang-orang dahulu selalu "betare" (meminta ijin) dengan Dukun Kampong. Hal ini sebenarnya bukan semata mutlak berkaitan dengan hal-hal yang sifatnye ghaib, tetapi lebih kepada pengalaman seoarang Dukun Kampung dalam melihat musim (musim kemarau dan hujan), tau akan kondisi tanah hutan yang "lum masak" (kondisi masih baru ditumbuhi hutan karena pernah di olah sebelumnya) sehingga menjadi lebih paham untuk bisa ditebas hutannya dan ditanam bibit padinya untuk mendapatkan hasil panen yang melimpah. Begitu juga bisa paham tentang musim-musim hama dan penyakit tanaman padi waktu kapan kemungkinan menyerang dan waktu kapan kemungkinan pergi. Keahlian Dukun Kampong ini semua kata Pak Marwan sebenarnya tidak kaitan sama sekali dengan hal-hal ghaib, tetapi lebih kepada kemampuan melihat musim-musim yang tepat berdasarkan pengetahun dari orang-orang terdahulu dan "di catat" dalam otak bukan dalam bentuk tulisan atau buku seperti saat ini.
Wah, jadi panjang ceritanya. Kemungkinan tidak akan cukup untuk dituliskan kelakar malam ini dalam halaman web ini saking begitu banyaknya cerita yang menarik dan membuat Kita semua jadi terpana. Yang jelas kemudian kegiatan misi patroli untuk mencari Ketuntong di kawasan aliran Aik Rusa' malam itu tidak mendapatkan hasil sama sekali alias gagal. Tapi tak mengapa, penggantinya adalah terjadi kelakar yang santai, asik dan mendapatkan ilmu baru tentang kearifan lokal Belitung dalam menjaga kelestarian lingkungannya.
Yang pasti pada akhirnya semua Komunitas Wisata berbasis masyarakat yang ada di Pulau Belitung ini masih sangat banyak memerlukan sentuhan-sentuhan hati dan tangan-tangan orang ahli dalam berbagai disiplin ilmu yang benar-benar peduli dengan mereka, jika memang judul pembangunan Pariwisata Indonesia saat ini adalah Pembangunan Pariwisata Yang Berkelanjutan, atau selogan Alam Terjaga Masyarakat Akan Sejahtera.
Karena kemudian jika ini benar-benar ini bisa dilakukan dalam mensejahterakan masyarakat dari sisi ekonomi sekaligus bisa menjaga lingkungan yang lestari baik dari sisi budaya, alam dan kearifan lokalnya maka itulah Orang Sukses Adalah Orang Bisa Membuat Orang Menjadi Sukses. Salam Pariwisata Indonesia dan tetap semangat membangun Indonesia dari Desa.
Penulis : Iswandi